twitter


Ujian Kompetensi Dokter Indonesia

ketika kualitas berbuah kontroversi

Ujian Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) adalah sebuah ujian yang harus diikuti oleh dokter yang baru lulus program studi pendidikan dokter atau yang telah habis masa berlaku registrasinya, agar dapat memperoleh izin praktek.

Sejarah UKDI

Cikal bakal UKDI adalah ketika diajukan sebuah proyek oleh Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi ( DIKTI) pada tahun 1989 untuk menilai keberhasilan pelaksanaan pendidikan serta sebagai sarana untuk meningkatan mutu di tiap fakultas kedokteran. Pada awalnya proyek ini diikuti oleh fakultas-fakultas kedokteran di Undip, UI, dan UGM, dengan Unpad sebagai koordinator. Pada perkembangan berikutnya, UKDI diikuti juga oleh Unair, USU, Atmajaya, dan Unhas.

Dalam pelaksanaan awal yang berlangsung selama 3 tahun, ditemukan bahwa terdapat perbedaan pengetahuan pada dokter di universitas-universitas yang mengikuti proyek DIKTI tersebut. Hal ini memicu lahirnya sebuah keputusan untuk membuat sebuah standardisasi bagi para dokter, yang bertujuan untuk dapat menjamin kualitas dokter-dokter di Indonesia. Standardisasi inilah yang kemudian kita temukan dalam bentuk ujian tertulis dan kita kenal dengan UKDI.

UKDI ditinjau dari sisi hukum

Kebutuhan dokter yang terus meningkat baik secara kuantitas dan kualitas, membuat pemerintah Indonesia mengeluarkan beberapa Undang-Undang (UU) yang berkaitan dengan praktik kedokteran di Indonesia guna menjamin mutu, diantaranya :

1. UU no 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran

  1. Permenkes no 1419 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter & Dokter Gigi

Dalam rangka mewujudkan standarisasi kualitas dokter di Indonesia, maka Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI), Kolegium Dokter Indonesia (KDI), dan Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI) bekerjasama dan bersepakat untuk membentuk sebuah Komite Bersama UKDI (KBUKDI) yang memiliki tugas untuk menyelengarakan UKDI serta menerbitkan sertifikat kompetensi.

Sertifikat kompetensi yang didapat setelah lulus dari UKDI ini kemudian akan diproses di Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) sehingga dokter tersebut akhirnya berhak untuk mendapatkan Surat Izin Praktek (SIP).

Kontroversi UKDI

Dalam pelaksanaannya, muncul penentangan terhadap dilangsungkannya ujian kompetensi ini. Pada tanggal 23 Agustus 2010, beberapa dokter muda yang membentuk Forum Dokter Muda Indonesia (FDMI) mengadakan audiensi dengan komisi IX DPR RI. Audiensi tersebut berisi sebuah pernyataan pendapat oleh FDMI bahwa kompetensi dokter Indonesia tidak bisa hanya dinilai melalui ujian tertulis saja, sehingga FDMI pun kemudian menyatakan ketidaksetujuannya atas pelaksanaan UKDI.

Keputusan Terkini Mengenai UKDI

AIPKI, KDI , PDKI serta KBUKDI pada dasarnya juga menyadari bahwa kompetensi dokter Indonesia tidak cukup dinilai hanya melalui ujian tertulis. Sehingga evaluasi-evaluasi dan rencana jangka panjang juga terus dipikirkan oleh lembaga-lembaga tersebut. Salah satunya adalah keinginan untuk menerapkan Objective Strutured Clinical Examination (OSCE) berskala nasional.

Bahkan direncanakan pula bahwa UKDI kedepannya akan dilakukan secara online untuk mempermudah pelaksanaannya. Percobaan proyek UKDI online ini dilaksanakan di Unpad dengan istilah progressive test, yang telah diujikan pada mahasiswa seluruh angkatan di fakultas kedokteran Unpad beberapa bulan yang lalu.

Sebuah Pemikiran

Bukan rahasia bahwa mutu dokter Indonesia sangat memerlukan sebuah peningkatan. Jika memang pelaksanaan UKDI yang telah ada ataupun terlontarnya wacana untuk masa yang akan datang mengenai pelaksanaan OSCE berskala nasional masih dinilai sebagai sebuah metode yang tidak ideal untuk meningkatkan kualitas dokter di Indonesia, lalu metode seperti apa yang ideal?

Kontroversi yang muncul terkait UKDI adalah sesuatu yang sangat erat hubungannya dengan kita, mahasiswa fakultas kedokteran, yang akan menyandang gelar dokter di masa mendatang, sehingga tentu kita tidak mungkin berlepas diri darinya. Lantas solusi seperti apa yang kita, sebagai seorang mahasiswa, dapat ajukan? Ini adalah PR besar bagi kita bersama


(Kajian Strategis Ilmiah_Deddy Oskar)


Sebelum Idealisme Kita Luntur

(dan jangan sampai luntur)


Fenomena-fenomena terkait korupsi ataupun manipulasi anggaran negara bukanlah hal baru dalam perbincangan ranah kenegeraan kita. Pemberitaan media tak pernah sepi akan kasus permainan uang, baik berupa kenyataan, dugaan, ataupun manipulasi dan kreativitas kamuflase lain.

Yang sangat disayangkan, kasus itu mucul dari sosok-sosok yang harusnya menjadi panutan kita, pemerintah dan stakeholder lain, dimana kita sebagai rakyat menaruh kepercayaan padanya. Masih hangat dibicarakan, tentang anggaran-anggaran belanja pemerintah yang dianggap melebihi nilai rasional. Pernah muncul ke permukaan anggaran baju dan furniture presiden yang menembus angka 42 Milyar, penggunaan kartu lebaran oleh gubernur Jawa Barat yang hampir mencapai angka 2 Milyar, dan muncul pula angka fantastis lain sebesar 1,9 Milyar yang direncanakan hanya untuk biaya penyusunan pidato presiden 2011. Fakta-fakta tadi belum lagi ditambah dengan anggaran belanja lain dari orang-orang yang menamakan dirinya wakil rakyat itu untuk studi banding maupun pelengkap lain dari fasilitas-fasilitas yang ada, dengan dalih untuk meningkatkan efektivitas kinerja mereka demi kebaikan masyarakat.

Fenomena tadi hanyalah sederet rentetan yang terjadi dan mungkin penuh dengan permainan cantik dari manipulasi angka. Belum lagi ditambah dengan manipulasi lainnya berupa kasus korupsi yang selalu membuat negara dan rakyat ini merugi. Walaupun pihak yang terkait selalu memberikan bantahan dan argumen tentang nominal yang diambil, hati kecil ini tak bisa membohongi keganjilan-keganjilan yang ada

Saat media massa hanya menggembar-gemborkan, saat masyarakat termangu dalam kebingungannya, saat orang lain ingin menyuarakan, dan saat mahasiswa dalam perannya, bukankah telah tertanam dalam diri mahasiswa sebuah idealisme diri? Kita sebagai mahasiswa dengan pribadi yang beranjak dewasa tentu tak boleh memandangnya hanya dengan sebelah mata.

Dengan hati nurani yang berlum terkontaminasi kepentingan politik tertentu, ketika terpikirkan oleh kita bahwa ada sesuatu yang tidak tertata pada tempatnya, seperti fenomena bergesernya idealisme pemerintah dari kepentingan rakyat menjadi kepentingannya sendiri seperti contoh-contoh tadi, tentu dengan mudahnya kita bisa mengatakan mana yang salah dan mana yang benar. Bukankah sudah pasti? Salah. Benar. Hal ini idealnya adalah sebuah kesalahan. Hal itu idealnya adalah kebenaran. Sebuah idealitas yang terpatri nyata dalam diri kita, kaum intelektual

Namun, jika kita memperlebar sedikit jangkauan pandang kita, bukankah pemerintah juga termasuk dalam generasi intelektual yang sebelumnya menyandang status sama dengan kita kini, mahasiswa?

Pada kenyataannya, sesuatu yang multifaktorial dapat terjadi dan mempengaruhi keseimbangan idealitas seorang mahasiswa. Dalam perjalanannya, kita pasti akan menemukan tantangan dalam menjaga nilai yang sudah tertanam. Faktor kebutuhan akan materi, prestise, dan keserakahan pribadi mungkin adalah penyebab utama lunturnya idealitas dan pandangan yang murni itu. Kita memang tak bisa menjamin idealitas mahasiswa ini akan terus terbawa sampai nanti, tapi bukan berarti kita harus diam saja tanpa arti.

Sikap kritis tentu menjadi modal utama untuk controlling dan menjaga nilai yang telah ada. Kreativitas aksi? Itu yang ditunggu untuk menguatkannya

Terpikirkah? Kemana idealisme ini akan kita bawa?

Kita yang berpikir. Kita yang menentukan. Kita yang melakukan.


(Hanny Rosyida Arisna)