twitter


Bismillah..

Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang bertebaran dari Sabang sampai Merauke, baik berasal dari darat maupun lautan karena merupakan negara kepulauan. Lantas, mengapa masih banyak rakyatnya yang miskin? Kemanakah larinya sumber daya tersebut? Mengapa masih ada anak usia sekolah terancam putus sekolah dan berkeliaran di jalan?

Ya, pertanyaan-pertanyaan ini kembali mengingatkan kita pada kondisi Indonesia yang tak kunjung membaik, yang kontraproduktif dengan sumber daya alamnya. Ironis memang, karena semestinya ‘si empunya’ ada dalam keadaan berkecukupan atau bahkan berlebih. Akan tetapi, yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya. Pada kasus Blok Minyak dan Gas (MIGAS) Madura misalnya, salah satu daerah penghasil gas dan minyak bumi terbesar di Indonesia, tidak sepenuhnya dikelola oleh pertamina, melainkan ada campur tangan pihak asing di dalamnya. Padahal, dengan SDM yang sudah cukup memadai, Indonesia mampu secara mandiri mengelola kekayaan alamnya. Pertamina hanya diberikan pengelolaan 80% dari total saham, sedangkan sisanya diberikan untuk dikelola oleh pihak asing. Beberapa tahun lalu, saham kepemilikan adalah sebesar 50% : 50% yang menyebabkan kerugian yang ditanggung negeri ini sebesar 5,5 triliun tiap tahunnya. Lumayan kan?! Padahal, 5,5 triliun ini dapat digunakan untuk peningkatan kualitas pada bidang pendidikan dan kesehatan.

Tak berhenti pada kasus blok Migas west Madura tadi, Indonesia masih harus menelan pil pahit bahwa lahan yang ada ternyata tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan rakyatnya. Kebutuhan akan beras di negara yang mengonsumsinya sebagai makanan pokok, Indonesia harus mengimpor beras sebanyak 1,2 juta ton per tahunnya. Ini bukan angka yang sedikit. Ditambah biaya impor, ini tentu sangat menguras dana. Hal yang sangat kontradiksi dengan negara Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris. Ternyata, Indonesia belum mampu menjalankan swasembada pangan yang sedari dulu didengung-dengungkan.

Tak ketinggalan, masalah pendidikan pun masih menjadi isu pembicaraan. Status hukum perguruan tinggi negeri yang merupakan harapan rakyat menengah ke bawah untuk tetap mengenyam pendidikan tinggi masih belum jelas. RUU BHP yang pernah disahkan dan sudah dibatalkan, kini hanya seperti berubah nama menjadi RUU PT yang isinya tak jauh berbeda, yakni adanya autoregulasi dari setiap perguruan tinggi untuk mengelola keuangannya. Pemerintah tak lagi intervensi terhadap biaya pendidikan tinggi atau dapat dikatakan subsidi pemerintah untuk perguruan tinggi negeri diturunkan atau bahkan dihapus. Hal ini dapat menimbulkan adanya komersialisasi pendidikan yang sangat memungkinkan biaya pendidikan dibebankan kepada mahasiswa. Lalu, bagaimana pendidikan tinggi dapat dirasakan oleh rakyat miskin?

Di tengah banyaknya masalah yang sedang menimpa dan belum terselesaikan, kembali kita dikagetkan dengan isu yang membuat ‘gerah’ oleh ulah DPR yang ingin membangun gedung DPR senilai 1,2 triliun. Angka yang menakjubkan dan menimbulkan pertanyaan, fasilitas seperti apa yang diinginkan anggota DPR untuk meningkatkan kinerjanya? Akankah fasilitas tersebut benar-benar akan meningkatkan kinerja para anggota dewan? Sedangkan, di luar sana masih banyak rakyat miskin yang tinggal di pinggir jalan, anak dengan gizi buruk, sekolah reyot, anak putus sekolah yang lebih urgent untuk segera diselesaikan oleh pemerintah sehingga wacana pembangunan gedung DPR beserta fasilitasnya tahun ini bukanlah saat yang tepat untuk segera direalisasikan.

Di saat kritis seperti ini, mahasiswa sebagai agent of change tentu tak ingin tinggal diam. Mahasiswa berusaha berjuang melalui organisasi kemahasiswaan untuk memperjuangkan aspirasi mahasiswa dan hak rakyat. Akan tetapi, kebebasan mulai dikekang dengan dibekukannya beberapa organisasi kemahasiswaan tanpa alasan yang jelas seperti yang terjadi pada BEM UGM. Hal ini mengingatkan kita pada masa orde baru dimana BEM atau Dewan Mahasiswa saat itu dibekukan dengan diberlakukannya NKK/BKK yang membatasi pergerakan mahasiswa. Tentu kita tidak ingin ini terjadi juga pada organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi lainnya yang sangat merugikan dengan membatasi ruang gerak mahasiswa.

Berangkat dari isu-isu di atas, seperti telah dikatakan bahwa mahasiswa sebagai agent of change tentu tak akan tinggal diam melihat negerinya terpuruk. Maka, tak ada kata selain BERGERAK demi Indonesia yang lebih baik karena kemerdekaan pun harus dibayar dengan darah dan air mata. Aksi mahasiswa pun bukanlah hal yang sepele dan sia-sia. GATRA mencatatnya dalam edisi 12-18 Mei, “Setelah didemo mahasiswa dan diramaikan beberapa media, blok west Madura akan dikelola untuk Pertamina dengan kepemilikan 80% dan kodeko 20%. Seandainya tidak didemo, Pertamina hanya akan memiliki 60% dan belum tentu jadi operator. Pertamina harus berterima kasih pada mahasiswa.” Begitulah mahasiswa mencatat sejarah.

INDONESIA BANGKIT !!

SAATNYA BERGERAK…!!!

HIDUP MAHASISWA !!

HIDUP RAKYAT INDONESIA !!

Sie. Kajian Strategis Ilmiah

Senat Mahasiswa FK UNPAD 2011