twitter


LATAR BELAKANG PENGKAJIAN ISU

Harga minyak dunia yang naik yang saat ini rata-ratanya telah lebih dari US$ 100/barel, pemerintah Indonesia mengajukan wacana untuk menaikkan harga BBM. Hal ini terjadi karena subsidi BBM yang membebani keuangan negara berdasarkan kenaikan APBN 200% dari 2010 ke 2011 (Realisasi APBN 2010 dan perkiraan realisasi APBN 2011). Namun kenaikan tersebut akan memicu inflasi sebesar 0,47% -1,02%.

Opsi yang diberikan pemerintah (menurut detik finance), yaitu:
1) Harga naik Rp 500, dinilai paling efektif jika dilakukan pada waktu yang sesuai
.

2) Pemindahan dari premium ke pertamax, harga pertamax dipatok Rp 8.000.

3) Pembatasan pengguna premium hanya untuk angkutan umum dan motor.

Kenaikan harga telah dipertimbangkan dengan kalkulasi :

1. Jika naik Rp500, maka negara dapat menghemat sekitar 19T.

2. Jika naik Rp1000, maka negara dapat menghemat sekitar 38,3T.

3. Jika naik Rp1500, maka negara dapat menghemat sekitar 57T.

Penghematan negara ini dapat dialokasikan untuk hal lain, seperti dialihkan ke bidang kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur.

PERMASALAHAN

1) Masalah apa saja yang akan timbul bila harga BBM naik?

2) Opsi apa saja yang bisa diambil untuk menanggapi wacana kenaikan harga ini?

3) Jika benar naik, berapa kenaikan yang sesuai?

4) Jika benar naik, apa saja efek yang bisa diminimalisasi?

TINDAKAN YANG DIAMBIL

Mendukung kenaikan BBM sebesar Rp1000-Rp1500. Tindakan ini diambil karena pada tahun 2008 lalu sudah pernah terjadi kenaikan sampai Rp 6000 dan dinilai kenaikan tersebut masih bisa ditolerir masyarakat. Pemerintah pun menilai dampak psikologis terhadap kenaikan BBM ini hanya akan berlangsung 3 bulan.

Adapun, pemerintah akan mengantisipasi efek domino dan penolakan dari masyarakat dengan empat cara. Salah satunya, dengan pembrian BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat), meski hal ini menuai banyak protes dan sikap tidak setuju dari pihak oposisi ataupun pemerintah daerah. Mengingat BLT yang diusung oleh pemerintahan SBY masih belum tepat sasaran dan dinilai tidak cocok untuk negara berkembang, tentu pemberian BLSM ini perlu dikaji lagi. Selain itu, hal ini dapat memicu sikap malas warga Indonesia.

Memang, persoalan akan diperumit dengan naiknya harga sembako yang akan semakin mempersulit kehidupan masyarakt miskin sehingga kenaikan angka kemiskinan akan bertambah jumlahnya. Hal inilah yang perlu dikaji lagi oleh pemerintah, yaitu bagaimana kehidupan rakyat miskin jika harga BBM akan naik. Tentunya, pemerintah harus memberikan kompensasi terhadap kenaikan ini.

Adapun, pemerintah akan mengantisipasi efek domino dan penolakan dari masyarakat dengan empat cara. Salah satunya, dengan pembrian BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat), meski hal ini menuai banyak protes dan sikap tidak setuju dari pihak oposisi ataupun pemerintah daerah. Mengingat BLT yang diusung oleh pemerintahan SBY masih belum tepat sasaran dan dinilai tidak cocok untuk negara berkembang dan dapat menimbulkan sikap malas warga Indonesia, tentu pemberian BLSM ini perlu dikaji lagi

SARAN, KRITIK DAN SOLUSI

1) Pemerintah memberikan transparansi kepada masyarakat mekanisma naiknya harga.

2) Mengendalikan efek domino agar kenaikan harga tidak memberatkan masyrakat. (belum tau solusinya).

3) Kenaikan harga listrik jangan pada tahun yang sama dengan naiknya harga BBM.

4) Selama ini BBM bersubsidi dinilai tidak tepat sasaran karena ternayata jumlah penggunan masyarakat mampu pengguna BBM bersubsidi sebesar 77%. Adapun solusi yang ditawarkan adalah pembangunan SPBU khusus untuk premium atau dapat dikatakan pemisahan SPBU yang menjual premium dengan pertamax yang itu memang hanya ditujukan untuk kendaraan umum dan sepeda motor. Dengan begitu regulasinya bisa lebih mudah karena lebih terlihat “siapa saja yang masuk ke SPBU itu berarti membeli premium yang seharusnya hanya untu kendaraan tertentu”.

KETERANGAN TAMBAHAN

Berita selengkapnya bisa dibaca di:

http://finance.detik.com/read/2011/03/09/133657/1587769/4/opsi-bbm-naik-paling-mudah-tapi-inflasi-tinggi

slide presentasi : KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL MINYAK DAN GAS BUMI oleh Dr.-Ing. Evita H. Legowo (Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi)


LATAR BELAKANG PENGKAJIAN ISU

Harga minyak dunia yang naik yang saat ini rata-ratanya telah lebih dari US$ 100/barel, pemerintah Indonesia mengajukan wacana untuk menaikkan harga BBM. Hal ini terjadi karena subsidi BBM yang membebani keuangan negara berdasarkan kenaikan APBN 200% dari 2010 ke 2011 (Realisasi APBN 2010 dan perkiraan realisasi APBN 2011). Namun kenaikan tersebut akan memicu inflasi sebesar 0,47% -1,02%.

Opsi yang diberikan pemerintah (menurut detik finance), yaitu:
1) Harga naik Rp 500, dinilai paling efektif jika dilakukan pada waktu yang sesuai
.

2) Pemindahan dari premium ke pertamax, harga pertamax dipatok Rp 8.000.

3) Pembatasan pengguna premium hanya untuk angkutan umum dan motor.

Kenaikan harga telah dipertimbangkan dengan kalkulasi :

1. Jika naik Rp500, maka negara dapat menghemat sekitar 19T.

2. Jika naik Rp1000, maka negara dapat menghemat sekitar 38,3T.

3. Jika naik Rp1500, maka negara dapat menghemat sekitar 57T.

Penghematan negara ini dapat dialokasikan untuk hal lain, seperti dialihkan ke bidang kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur.

PERMASALAHAN

1) Masalah apa saja yang akan timbul bila harga BBM naik?

2) Opsi apa saja yang bisa diambil untuk menanggapi wacana kenaikan harga ini?

3) Jika benar naik, berapa kenaikan yang sesuai?

4) Jika benar naik, apa saja efek yang bisa diminimalisasi?

TINDAKAN YANG DIAMBIL

Mendukung kenaikan BBM sebesar Rp1000-Rp1500. Tindakan ini diambil karena pada tahun 2008 lalu sudah pernah terjadi kenaikan sampai Rp 6000 dan dinilai kenaikan tersebut masih bisa ditolerir masyarakat. Pemerintah pun menilai dampak psikologis terhadap kenaikan BBM ini hanya akan berlangsung 3 bulan.

Adapun, pemerintah akan mengantisipasi efek domino dan penolakan dari masyarakat dengan empat cara. Salah satunya, dengan pembrian BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat), meski hal ini menuai banyak protes dan sikap tidak setuju dari pihak oposisi ataupun pemerintah daerah. Mengingat BLT yang diusung oleh pemerintahan SBY masih belum tepat sasaran dan dinilai tidak cocok untuk negara berkembang, tentu pemberian BLSM ini perlu dikaji lagi. Selain itu, hal ini dapat memicu sikap malas warga Indonesia.

Memang, persoalan akan diperumit dengan naiknya harga sembako yang akan semakin mempersulit kehidupan masyarakt miskin sehingga kenaikan angka kemiskinan akan bertambah jumlahnya. Hal inilah yang perlu dikaji lagi oleh pemerintah, yaitu bagaimana kehidupan rakyat miskin jika harga BBM akan naik. Tentunya, pemerintah harus memberikan kompensasi terhadap kenaikan ini.

Adapun, pemerintah akan mengantisipasi efek domino dan penolakan dari masyarakat dengan empat cara. Salah satunya, dengan pembrian BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat), meski hal ini menuai banyak protes dan sikap tidak setuju dari pihak oposisi ataupun pemerintah daerah. Mengingat BLT yang diusung oleh pemerintahan SBY masih belum tepat sasaran dan dinilai tidak cocok untuk negara berkembang dan dapat menimbulkan sikap malas warga Indonesia, tentu pemberian BLSM ini perlu dikaji lagi

SARAN, KRITIK DAN SOLUSI

1) Pemerintah memberikan transparansi kepada masyarakat mekanisma naiknya harga.

2) Mengendalikan efek domino agar kenaikan harga tidak memberatkan masyrakat. (belum tau solusinya).

3) Kenaikan harga listrik jangan pada tahun yang sama dengan naiknya harga BBM.

4) Selama ini BBM bersubsidi dinilai tidak tepat sasaran karena ternayata jumlah penggunan masyarakat mampu pengguna BBM bersubsidi sebesar 77%. Adapun solusi yang ditawarkan adalah pembangunan SPBU khusus untuk premium atau dapat dikatakan pemisahan SPBU yang menjual premium dengan pertamax yang itu memang hanya ditujukan untuk kendaraan umum dan sepeda motor. Dengan begitu regulasinya bisa lebih mudah karena lebih terlihat “siapa saja yang masuk ke SPBU itu berarti membeli premium yang seharusnya hanya untu kendaraan tertentu”.

KETERANGAN TAMBAHAN

Berita selengkapnya bisa dibaca di:

http://finance.detik.com/read/2011/03/09/133657/1587769/4/opsi-bbm-naik-paling-mudah-tapi-inflasi-tinggi

slide presentasi : KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL MINYAK DAN GAS BUMI oleh Dr.-Ing. Evita H. Legowo (Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi)


Bismillah..

Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang bertebaran dari Sabang sampai Merauke, baik berasal dari darat maupun lautan karena merupakan negara kepulauan. Lantas, mengapa masih banyak rakyatnya yang miskin? Kemanakah larinya sumber daya tersebut? Mengapa masih ada anak usia sekolah terancam putus sekolah dan berkeliaran di jalan?

Ya, pertanyaan-pertanyaan ini kembali mengingatkan kita pada kondisi Indonesia yang tak kunjung membaik, yang kontraproduktif dengan sumber daya alamnya. Ironis memang, karena semestinya ‘si empunya’ ada dalam keadaan berkecukupan atau bahkan berlebih. Akan tetapi, yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya. Pada kasus Blok Minyak dan Gas (MIGAS) Madura misalnya, salah satu daerah penghasil gas dan minyak bumi terbesar di Indonesia, tidak sepenuhnya dikelola oleh pertamina, melainkan ada campur tangan pihak asing di dalamnya. Padahal, dengan SDM yang sudah cukup memadai, Indonesia mampu secara mandiri mengelola kekayaan alamnya. Pertamina hanya diberikan pengelolaan 80% dari total saham, sedangkan sisanya diberikan untuk dikelola oleh pihak asing. Beberapa tahun lalu, saham kepemilikan adalah sebesar 50% : 50% yang menyebabkan kerugian yang ditanggung negeri ini sebesar 5,5 triliun tiap tahunnya. Lumayan kan?! Padahal, 5,5 triliun ini dapat digunakan untuk peningkatan kualitas pada bidang pendidikan dan kesehatan.

Tak berhenti pada kasus blok Migas west Madura tadi, Indonesia masih harus menelan pil pahit bahwa lahan yang ada ternyata tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan rakyatnya. Kebutuhan akan beras di negara yang mengonsumsinya sebagai makanan pokok, Indonesia harus mengimpor beras sebanyak 1,2 juta ton per tahunnya. Ini bukan angka yang sedikit. Ditambah biaya impor, ini tentu sangat menguras dana. Hal yang sangat kontradiksi dengan negara Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris. Ternyata, Indonesia belum mampu menjalankan swasembada pangan yang sedari dulu didengung-dengungkan.

Tak ketinggalan, masalah pendidikan pun masih menjadi isu pembicaraan. Status hukum perguruan tinggi negeri yang merupakan harapan rakyat menengah ke bawah untuk tetap mengenyam pendidikan tinggi masih belum jelas. RUU BHP yang pernah disahkan dan sudah dibatalkan, kini hanya seperti berubah nama menjadi RUU PT yang isinya tak jauh berbeda, yakni adanya autoregulasi dari setiap perguruan tinggi untuk mengelola keuangannya. Pemerintah tak lagi intervensi terhadap biaya pendidikan tinggi atau dapat dikatakan subsidi pemerintah untuk perguruan tinggi negeri diturunkan atau bahkan dihapus. Hal ini dapat menimbulkan adanya komersialisasi pendidikan yang sangat memungkinkan biaya pendidikan dibebankan kepada mahasiswa. Lalu, bagaimana pendidikan tinggi dapat dirasakan oleh rakyat miskin?

Di tengah banyaknya masalah yang sedang menimpa dan belum terselesaikan, kembali kita dikagetkan dengan isu yang membuat ‘gerah’ oleh ulah DPR yang ingin membangun gedung DPR senilai 1,2 triliun. Angka yang menakjubkan dan menimbulkan pertanyaan, fasilitas seperti apa yang diinginkan anggota DPR untuk meningkatkan kinerjanya? Akankah fasilitas tersebut benar-benar akan meningkatkan kinerja para anggota dewan? Sedangkan, di luar sana masih banyak rakyat miskin yang tinggal di pinggir jalan, anak dengan gizi buruk, sekolah reyot, anak putus sekolah yang lebih urgent untuk segera diselesaikan oleh pemerintah sehingga wacana pembangunan gedung DPR beserta fasilitasnya tahun ini bukanlah saat yang tepat untuk segera direalisasikan.

Di saat kritis seperti ini, mahasiswa sebagai agent of change tentu tak ingin tinggal diam. Mahasiswa berusaha berjuang melalui organisasi kemahasiswaan untuk memperjuangkan aspirasi mahasiswa dan hak rakyat. Akan tetapi, kebebasan mulai dikekang dengan dibekukannya beberapa organisasi kemahasiswaan tanpa alasan yang jelas seperti yang terjadi pada BEM UGM. Hal ini mengingatkan kita pada masa orde baru dimana BEM atau Dewan Mahasiswa saat itu dibekukan dengan diberlakukannya NKK/BKK yang membatasi pergerakan mahasiswa. Tentu kita tidak ingin ini terjadi juga pada organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi lainnya yang sangat merugikan dengan membatasi ruang gerak mahasiswa.

Berangkat dari isu-isu di atas, seperti telah dikatakan bahwa mahasiswa sebagai agent of change tentu tak akan tinggal diam melihat negerinya terpuruk. Maka, tak ada kata selain BERGERAK demi Indonesia yang lebih baik karena kemerdekaan pun harus dibayar dengan darah dan air mata. Aksi mahasiswa pun bukanlah hal yang sepele dan sia-sia. GATRA mencatatnya dalam edisi 12-18 Mei, “Setelah didemo mahasiswa dan diramaikan beberapa media, blok west Madura akan dikelola untuk Pertamina dengan kepemilikan 80% dan kodeko 20%. Seandainya tidak didemo, Pertamina hanya akan memiliki 60% dan belum tentu jadi operator. Pertamina harus berterima kasih pada mahasiswa.” Begitulah mahasiswa mencatat sejarah.

INDONESIA BANGKIT !!

SAATNYA BERGERAK…!!!

HIDUP MAHASISWA !!

HIDUP RAKYAT INDONESIA !!

Sie. Kajian Strategis Ilmiah

Senat Mahasiswa FK UNPAD 2011


Ujian Kompetensi Dokter Indonesia

ketika kualitas berbuah kontroversi

Ujian Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) adalah sebuah ujian yang harus diikuti oleh dokter yang baru lulus program studi pendidikan dokter atau yang telah habis masa berlaku registrasinya, agar dapat memperoleh izin praktek.

Sejarah UKDI

Cikal bakal UKDI adalah ketika diajukan sebuah proyek oleh Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi ( DIKTI) pada tahun 1989 untuk menilai keberhasilan pelaksanaan pendidikan serta sebagai sarana untuk meningkatan mutu di tiap fakultas kedokteran. Pada awalnya proyek ini diikuti oleh fakultas-fakultas kedokteran di Undip, UI, dan UGM, dengan Unpad sebagai koordinator. Pada perkembangan berikutnya, UKDI diikuti juga oleh Unair, USU, Atmajaya, dan Unhas.

Dalam pelaksanaan awal yang berlangsung selama 3 tahun, ditemukan bahwa terdapat perbedaan pengetahuan pada dokter di universitas-universitas yang mengikuti proyek DIKTI tersebut. Hal ini memicu lahirnya sebuah keputusan untuk membuat sebuah standardisasi bagi para dokter, yang bertujuan untuk dapat menjamin kualitas dokter-dokter di Indonesia. Standardisasi inilah yang kemudian kita temukan dalam bentuk ujian tertulis dan kita kenal dengan UKDI.

UKDI ditinjau dari sisi hukum

Kebutuhan dokter yang terus meningkat baik secara kuantitas dan kualitas, membuat pemerintah Indonesia mengeluarkan beberapa Undang-Undang (UU) yang berkaitan dengan praktik kedokteran di Indonesia guna menjamin mutu, diantaranya :

1. UU no 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran

  1. Permenkes no 1419 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter & Dokter Gigi

Dalam rangka mewujudkan standarisasi kualitas dokter di Indonesia, maka Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI), Kolegium Dokter Indonesia (KDI), dan Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI) bekerjasama dan bersepakat untuk membentuk sebuah Komite Bersama UKDI (KBUKDI) yang memiliki tugas untuk menyelengarakan UKDI serta menerbitkan sertifikat kompetensi.

Sertifikat kompetensi yang didapat setelah lulus dari UKDI ini kemudian akan diproses di Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) sehingga dokter tersebut akhirnya berhak untuk mendapatkan Surat Izin Praktek (SIP).

Kontroversi UKDI

Dalam pelaksanaannya, muncul penentangan terhadap dilangsungkannya ujian kompetensi ini. Pada tanggal 23 Agustus 2010, beberapa dokter muda yang membentuk Forum Dokter Muda Indonesia (FDMI) mengadakan audiensi dengan komisi IX DPR RI. Audiensi tersebut berisi sebuah pernyataan pendapat oleh FDMI bahwa kompetensi dokter Indonesia tidak bisa hanya dinilai melalui ujian tertulis saja, sehingga FDMI pun kemudian menyatakan ketidaksetujuannya atas pelaksanaan UKDI.

Keputusan Terkini Mengenai UKDI

AIPKI, KDI , PDKI serta KBUKDI pada dasarnya juga menyadari bahwa kompetensi dokter Indonesia tidak cukup dinilai hanya melalui ujian tertulis. Sehingga evaluasi-evaluasi dan rencana jangka panjang juga terus dipikirkan oleh lembaga-lembaga tersebut. Salah satunya adalah keinginan untuk menerapkan Objective Strutured Clinical Examination (OSCE) berskala nasional.

Bahkan direncanakan pula bahwa UKDI kedepannya akan dilakukan secara online untuk mempermudah pelaksanaannya. Percobaan proyek UKDI online ini dilaksanakan di Unpad dengan istilah progressive test, yang telah diujikan pada mahasiswa seluruh angkatan di fakultas kedokteran Unpad beberapa bulan yang lalu.

Sebuah Pemikiran

Bukan rahasia bahwa mutu dokter Indonesia sangat memerlukan sebuah peningkatan. Jika memang pelaksanaan UKDI yang telah ada ataupun terlontarnya wacana untuk masa yang akan datang mengenai pelaksanaan OSCE berskala nasional masih dinilai sebagai sebuah metode yang tidak ideal untuk meningkatkan kualitas dokter di Indonesia, lalu metode seperti apa yang ideal?

Kontroversi yang muncul terkait UKDI adalah sesuatu yang sangat erat hubungannya dengan kita, mahasiswa fakultas kedokteran, yang akan menyandang gelar dokter di masa mendatang, sehingga tentu kita tidak mungkin berlepas diri darinya. Lantas solusi seperti apa yang kita, sebagai seorang mahasiswa, dapat ajukan? Ini adalah PR besar bagi kita bersama


(Kajian Strategis Ilmiah_Deddy Oskar)


Sebelum Idealisme Kita Luntur

(dan jangan sampai luntur)


Fenomena-fenomena terkait korupsi ataupun manipulasi anggaran negara bukanlah hal baru dalam perbincangan ranah kenegeraan kita. Pemberitaan media tak pernah sepi akan kasus permainan uang, baik berupa kenyataan, dugaan, ataupun manipulasi dan kreativitas kamuflase lain.

Yang sangat disayangkan, kasus itu mucul dari sosok-sosok yang harusnya menjadi panutan kita, pemerintah dan stakeholder lain, dimana kita sebagai rakyat menaruh kepercayaan padanya. Masih hangat dibicarakan, tentang anggaran-anggaran belanja pemerintah yang dianggap melebihi nilai rasional. Pernah muncul ke permukaan anggaran baju dan furniture presiden yang menembus angka 42 Milyar, penggunaan kartu lebaran oleh gubernur Jawa Barat yang hampir mencapai angka 2 Milyar, dan muncul pula angka fantastis lain sebesar 1,9 Milyar yang direncanakan hanya untuk biaya penyusunan pidato presiden 2011. Fakta-fakta tadi belum lagi ditambah dengan anggaran belanja lain dari orang-orang yang menamakan dirinya wakil rakyat itu untuk studi banding maupun pelengkap lain dari fasilitas-fasilitas yang ada, dengan dalih untuk meningkatkan efektivitas kinerja mereka demi kebaikan masyarakat.

Fenomena tadi hanyalah sederet rentetan yang terjadi dan mungkin penuh dengan permainan cantik dari manipulasi angka. Belum lagi ditambah dengan manipulasi lainnya berupa kasus korupsi yang selalu membuat negara dan rakyat ini merugi. Walaupun pihak yang terkait selalu memberikan bantahan dan argumen tentang nominal yang diambil, hati kecil ini tak bisa membohongi keganjilan-keganjilan yang ada

Saat media massa hanya menggembar-gemborkan, saat masyarakat termangu dalam kebingungannya, saat orang lain ingin menyuarakan, dan saat mahasiswa dalam perannya, bukankah telah tertanam dalam diri mahasiswa sebuah idealisme diri? Kita sebagai mahasiswa dengan pribadi yang beranjak dewasa tentu tak boleh memandangnya hanya dengan sebelah mata.

Dengan hati nurani yang berlum terkontaminasi kepentingan politik tertentu, ketika terpikirkan oleh kita bahwa ada sesuatu yang tidak tertata pada tempatnya, seperti fenomena bergesernya idealisme pemerintah dari kepentingan rakyat menjadi kepentingannya sendiri seperti contoh-contoh tadi, tentu dengan mudahnya kita bisa mengatakan mana yang salah dan mana yang benar. Bukankah sudah pasti? Salah. Benar. Hal ini idealnya adalah sebuah kesalahan. Hal itu idealnya adalah kebenaran. Sebuah idealitas yang terpatri nyata dalam diri kita, kaum intelektual

Namun, jika kita memperlebar sedikit jangkauan pandang kita, bukankah pemerintah juga termasuk dalam generasi intelektual yang sebelumnya menyandang status sama dengan kita kini, mahasiswa?

Pada kenyataannya, sesuatu yang multifaktorial dapat terjadi dan mempengaruhi keseimbangan idealitas seorang mahasiswa. Dalam perjalanannya, kita pasti akan menemukan tantangan dalam menjaga nilai yang sudah tertanam. Faktor kebutuhan akan materi, prestise, dan keserakahan pribadi mungkin adalah penyebab utama lunturnya idealitas dan pandangan yang murni itu. Kita memang tak bisa menjamin idealitas mahasiswa ini akan terus terbawa sampai nanti, tapi bukan berarti kita harus diam saja tanpa arti.

Sikap kritis tentu menjadi modal utama untuk controlling dan menjaga nilai yang telah ada. Kreativitas aksi? Itu yang ditunggu untuk menguatkannya

Terpikirkah? Kemana idealisme ini akan kita bawa?

Kita yang berpikir. Kita yang menentukan. Kita yang melakukan.


(Hanny Rosyida Arisna)